Sejarah Pemindahan kota Bandung
Posted by the past | Posted in | Posted on
0
seperti yang telah disinggung pada posting sejarah Bandung, ternyata Kota Bandung tidak berdiri bersamaan dengan pembentukan Kabupaten Bandung. Kota itu dibangun dengan tenggang waktu sangat jauh setelah Kabupaten Bandung berdiri. Kabupaten Bandung dibentuk pada sekitar pertengahan abad ke-17 Masehi, dengan Bupati pertama tumenggung Wiraangunangun. Beliau memerintah Kabupaten bandung hingga tahun 1681.
Semula Kabupaten Bandung beribukota di Krapyak (sekarang Dayeuhkolot) kira-kira 11 kilometer ke arah Selatan dari pusat kota Bandung sekarang. Ketika kabupaten Bandung dipimpin oleh bupati ke-6, yakni R.A Wiranatakusumah II (1794-1829) yang dijuluki "Dalem Kaum I", kekuasaan di Nusantara beralih dari Kompeni ke Pemerintahan hindia Belanda, dengan gubernur jenderal pertama Herman Willem Daendels (1808-1811). Untuk kelancaran menjalankan tugasnya di Pulau Jawa, Daendels membangun Jalan Raya Pos (Groote Postweg) dari Anyer di ujung barat Jawa Barat ke Panarukan di ujung timur Jawa timur (kira-kira 1000 km). Pembangunan jalan raya itu dilakukan oleh rakyat pribumi di bawah pimpinan bupati daerah masing-masing.
Mengapa Daendels begitu ngotot untuk memindahkan ibu kota tersebut? Karena Daendels menginginkan agar rentang kendali terhadap Kabupaten Bandung lebih mudah, terutama setelah selesainya Jalan Raya Pos.
Jadi, pemindahan ibu kota Kabupaten Bandung ke tempat sekitar Alun-alun Kota Bandung sekarang, bukanlah karena alasan saat itu Karapyak sering kebanjiran seperti dikemukakan Dede Mariana, LPPM Unpad (Teropong, "PR", 15 Desember 2008).
Sementara itu, ibu kota Parakanmuncang yang posisinya sudah berdekatan dengan jalan raya pos, namun terlalu dekat dengan ibu kota Kabupaten Bandung yang baru, letaknya harus digeser ke arah timur laut dari posisi semula yaitu ke Anawadak, Tanjungsari sekarang.
Dengan kondisi saat itu, Karapyak dianggap terlalu jauh dari rentang kendali karena jauh di selatan dari jalan raya pos. Jalan itu semula berupa jalan sebahu yang sudah lama ada, yang menjadi jalan penghubung antara pusat-pusat kerajaan sebelumnya. Pada 1809, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels mulai memperlebar dan mengeraskan jalan sebahu itu menjadi jalan yang bisa dilalui kereta pos yang menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa dari Anyer hingga Panarukan sebagai upaya untuk pengamanan Pulau Jawa dari serangan Inggris.
Sekitar akhir tahun 1808/awal tahun 1809, bupati beserta sejumlah rakyatnya pindah dari Krapyak mendekali lahan bakal ibukota baru. Mula-mula bupati tinggal di Cikalintu (daerah Cipaganti), kemudian pindah ke Balubur Hilir, selanjutnya pindah lagi ke Kampur Bogor (Kebon Kawung, pada lahan Gedung Pakuan sekarang).
Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Kota Bandung dibangun. Akan tetapi, kota itu dibangun bukan atas prakarsa Daendels, melainkan atas prakarsa Bupati Bandung, bahkan pembangunan kota itu langsung dipimpin oleh bupati. Dengan kata lain, Bupati R. A. Wiranatakusumah II adalah pendiri (the founding father) kota Bandung. Kota Bandung diresmikan sebagai ibukota baru Kabupaten Bandung dengan surat keputusan tanggal 25 September 1810.
Daendels sudah ingin segera memindahkan ibu kota Kabupaten Bandung sehingga ketika meresmikan Jembatan Cikapundung di dekat gedung PLN sekarang, dengan sombong Daendels menancapkan tongkat dan setengah mengancam Bupati Kabupaten Bandung, "Coba usahakan, bila aku datang kembali, di tempat ini telah dibangun sebuah kota."
Tidak cukup dengan paksaan itu, untuk menguatkan keinginannya, Herman Willem Daendels pun menulis surat pada 25 Mei 1810, yang bunyinya setelah diterjemahkan oleh Dr. A. Sobana Hardjasaputra adalah sebagai berikut:
"Setelah memberitahukan dengan surat kepada penguasa Jakarta dan daerah pedalaman Priangan bahwa ia telah mendengar ketika mengadakan inspeksi yang terakhir bahwa ibu kota Bandung dan Parakanmuncang terletak jauh dari jalan yang baru sehingga pekerjaan pembuatan jalan itu terlambat. Oleh karena itu, diusulkan untuk memindahkan ibu kota tersebut, yaitu (ibu kota) Bandung ke Cikapundung dan (ibu kota) Parakanmuncang ke Anawadak, kedua tempat itu terletak di jalan besar dan selain itu sangat cocok, serta di samping pemindahan yang telah disebutkan juga mengenai beberapa tanam-tanaman akan dapat ditingkatkan karena lahan yang diusulkan menjadi ibu kota dan sekitarnya sangat subur, bilamana keputusan usul mengenai pemindahan ibu kota Bandung ke Cikapundung, dan Parakanmuncang ke Anawadak tersebut diterima, mohon Paduka memberikan otoritas dan perintah yang harus dilaksanakan."
Dalam surat itu disebutkan juga tentang keinginan Daendels untuk memindahkan ibu kota Parakanmuncang ke Anawadak karena Parakanmuncang letaknya terlalu berdekatan dengan ibu kota Kabupaten Bandung yang baru.
Di mana tempat yang bernama Anawadak itu? Menurut Dr. A. Sobana Hardjasaputra, Anawadak adalah Tanjungsari sekarang, dan perubahan nama dari Anawadak menjadi Tanjungsari, menurutnya terjadi pada dekade ke-2 abad ke-19, atau pada tahun 1820-an.
Itik gunung
Dalam Kamus Basa Sunda susunan R. Satjadibrata (2005), anawadak ialah hahayaman, ngaran manuk ranca, leuwih leutik batan kuntul. (Anawadak=ayam-ayaman, nama burung rawa, lebih kecil dari kuntul).
Menurut Prof. Johan Iskandar, anawadak tidak sama dengan hahayaman (Gallicrex cinerea). Anawadak (Anas superciliosa) biasa disebut juga itik gunung. Dalam survei tahun 1980-an, Johan Iskandar pernah menemukannya di Danau Pangkalan-Kamojang, Kabupaten Bandung.
John MacKinnon (1993) mendeskripsikannya sebagai itik berukuran besar (55 cm), berwarna cokelat gelap dan mencari makan di permukaan air. Burung ini mudah dikenali dari kepalanya yang bergaris hitam. Terdapat spekulum (bulu sekunder di sayap yang memiliki warna mencolok) yang berkilat hijau gelap sampai ungu. Bagian bawah sayap berwarna putih yang sangat kontras dengan warna bulunya yang hitam.
Irisnya coklat, paruhnya abu-abu gelap, kakinya berwarna kuning suram atau coklat, dengan suaranya yang mirip itik jinak. Di Jawa Barat, itik gunung banyak terdapat di danau-danau pegunungan. Banyak dijumpai di danau atau rawa-rawa yang ditumbuhi buluh, umumnya di pegunungan yang tingginya sampai 3.000 meter dpl.
Di tepian danau yang dangkal, anawadak mencari makan berupa sayur-sayuran, biji-bijian (termasuk padi), dan invertebrata. Bertelur pada awal tahun sekitar Februari. Jumlah telurnya antara 8-13 butir, berwarna putih yang kemudian diletakkan pada sarang bersusun dari bulu lembut dan halus. Sarang penyimpanan telur berada di atas permukaan tanah atau di lubang pada pohon.
Di kawasan Anawadak atau Tajungsari tempo dulu, masih banyak situ atau lahan basah alami lainnya yang menjadi habitat itik gunung. Menurut Dadan Sutisna, seorang cerpenis, di sekitar Tanjungsari ada nama-nama tempat yang berciri air seperti Cisitu.
Menurut kisah para orang tua di sana, memang kawasan Cisitu dulunya adalah berupa danau alami. Di situ, gunung, dan lahan basah alami inilah anawadak hidup dengan merdeka. Namun sayang, seiring dengan menghilangnya situ dan lahan basah alami di kawasan tersebut, itik gunung pun menghilang. Tak ada lagi anawadak di sana. Anawadak sebagai nama ibu kota Parakanmuncang pun berganti menjadi Tanjungsari! (T. Bachtiar, anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan Kelompok Riset Cekungan Bandung)
sumber : www.pikiran-rakyat.com
Comments (0)
Posting Komentar