Lokananta dalam sejarah

Posted by the past | Posted in | Posted on

0

Seorang pelukis termangu di sudut ruangan. Ia berurai air mata ketika mendengar rekaman pidato Bung Karno dan alunan lagu Indonesia Raya. “Sungguh ini bukan aksiku seperti pemain sinetron. Dokumentasi suara itu membuatku terharu,” kata Sananta Ujung, si pelukis itu.

Sananta, adalah satu dari sekian banyak orang yang dibuat terharu dan terkesima oleh koleksi-koleksi Lokananta yang dipamerkan di Gedung Lokananta, Jalan Ahmad Yani, Solo, Jawa Tengah, 22-23 Agustus lalu. Lokananta sejatinya adalah gamelan para dewa di kahyangan. Nama itu diadopsi untuk perusahaan rekaman piringan hitam pertama milik negara yang berdiri pada 29 Oktober 1956.

Pada waktu itu, nama lengkapnya adalah Pabrik Piringan Hitam Lokananta, Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia, berlokasi di Solo. Menteri Penerangan RI pada masa itu, Soedibyo, meresmikan lembaga yang keberadaan dan namanya digagas oleh R. Maladi, komponis yang terkenal dengan lagu ciptaanya, Di Bawah Sinar Bulan Purnama, itu.

Tugas Lokananta, sebagai unit pelaksana teknik jawatan RRI, merekam dan memproduksi (menggandakan) piringan hitam untuk bahan siaran bagi 27 studio RRI seluruh Indonesia. Piringan hitam itu berisi gamelan Jawa, Bali, Sunda, dan musik daerah lainnya, lengkap dengan pesindennya. Juga musik keroncong, lengkap dengan penyanyinya.

Dengan begitu, para pendengar radio bisa mengenal siaran musik dan lagu dari daerahnya maupun musik dan lagu dari daerah lain. Kini pengunjung pameran bisa menyaksikan bukti-bukti audial bersejarah dan infrastruktur fisik perekaman pada masanya. Selain rekaman lagu Indonesia Raya asli dalam tiga stanza, dipamerkan juga piringan hitam berisi lagu-lagu dari penyanyi legendaris Indonesia, seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Sam Saimun.

Tidak ketinggalan rekaman suara pidato-pidato Bung Karno, antara lain tatkala membaca teks proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Juga pidato Bung Karno ketika membuka KTT Non-Blok I tahun 1955 di Bandung, berikut pidato kepala negara lainnya.

Tak hanya itu. Dipajang pula piringan hitam yang merekam gending karawitan gubahan dalang Ki Narto Sabdo. Plus karawitan Jawa gaya Surakarta dan Yogya, gamelan Bali, Sunda, serta alunan berbagai musik tradisional yang tersebar di Nusantara. Selain piringan hitam, juga dipamerkan peralatan audio yang yang sudah terhitung tua. Antara lain mixer dan speaker control bikinan tahun 1960.

Ada pula mesin pemotong pita dan multi-track recorder bikinan tahun 1980. Dipamerkan juga seperangkat gamelan Jawa yang dinamakan gemelan Kiai Sri Kuncoro Mulyo bikinan tahun 1920. Gamelan inilah yang dimainkan pada saat merekam gending-gending Jawa.

“Tidak gampang untuk mendapat kesempatan rekaman di Lokananta. Harus melewati prosedur yang ketat dan selektif,” kata Waldjinah kepada Gatra. Pelantun tembang Walang Kekek itu mengaku baru memperoleh kesempatan rekaman di Lokananta setelah dinobatkan sebagai Ratu Kembang Kacang –ajang kompetisi nyanyi keroncong yang bergengsi pada masanya– tahun 1958.

Mbak Wal, sapaan akrab Waldjinah, mengenang kali pertama ketika rekaman di Lokananta. “Umur saya 12 tahun. Kalau nyanyi, harus berdiri di bancik, supaya mulut bisa pas ke mikrofon,” katanya mengenang.

Honornya pun terbilang besar. “Saya lupa jumlahnya. Yang saya ingat, bisa untuk beli sepeda, baju baru, kain batik, dan makan di restoran mentraktir teman-teman. Pokoknya, honor Lokananta sudah layak,” tutur Waldjinah, yang tampil di studio rekaman yang pertama di Indonesia itu bersama grup keroncong Bintang Surakarta.

Suara Waldjinah yang direkam di Lokananta, antara lain, untuk lagu Ngelamlami, Adum Basuki, dan Dadi Ati, ketiganya karya komponis Gesang. Ada juga lagu Kopi Tubruk (karya Anjar Ani) serta lagu-lagu seperti Kacu Biru, Ojo Sujono, Paman Doblang, dan Impen, yang tidak diketahui nama penciptanya (anonim).

Gesang, sang maestro keroncong, pun merekam lagu legendarisnya, Bengawan Solo, di Lokananta. Lagu ini tersimpan sebagai salah satu koleksi penting Lokananta. “Hebat Lokananta itu. Syukur kalau masyarakat memahami peran Lokananta,” kata Gesang, 90 tahun, sambil mengangkat ibu jarinya tanda memuji.

Lokananta berstatus perusahaan negara sejak 1961, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 215 Tahun 1961. Lokananta mulai memproduksi rekaman dengan pita suara kaset (audio) pada 1971. Terhitung sejak tahun itu pula, Lokananta berhenti memproduksi piringan hitam.

Pada 1983, seiring dengan statusnya yang berubah menjadi salah satu BUMN di lingkungan Departemen Penerangan, Lokananta diberi kepercayaan sebagai salah satu pusat untuk penggandaan video kaset. Sejak 2004 sampai sekarang, Lokananta bergabung dengan PNRI (Perum Percetakan Negara RI). Nama lengkapnya: Lokananta Perum Percetakan Negara RI Cabang Surakarta.

Ruktiningsih, Kepala Lokananta yang menjabat sejak 2004, menceritakan bahwa pada saat ini Lokananta punya sekitar 40.000 keping piringan hitam yang tersimpan dan terawat rapi. “Aset yang luar biasa berharga. Milik Lokananta itu harus saya pamerkan, saya beritahukan pada publik,” kata Ruktiningsih.

Piringan hitam berjumlah 40.000 keping itu sebagian besar berasal dari materi-materi audio dari stasiun radio seluruh Indonesia. Master rekaman itulah yang direkam Lokananta ke dalam piringan hitam, untuk kemudian didistribusikan kembali ke seluruh cabang RRI di Indonesia.

Orang yang membutuhkannya sebagai bahan riset atau hiburan bisa mendapatkannya dalam bentuk kaset atau compact disk (CD), dengan “ongkos ganti” Rp 14.000 (per kaset) sampai Rp 50.000 (per CD). “Kami memiliki alat untuk mentransfer materi dalam master-master itu ke kaset dan CD,” ujar Ruktiningsih.

Ia menyatakan, sejak dulu, materi rekaman Lokananta berupa pidato verbal, lagu, dan berbagai jenis musik yang disiarkan ke seluruh stasiun radio di Indonesia. Tujuannya, mengokohkan jiwa kebangsaan dan mengukuhkan orientasi terhadap negara kesatuan Republik Indonesia.

Hal itu relatif menjelaskan status pelat merah yang disandang Lokananta hingga hari ini. Tapi, sayang, dengan tradisinya yang cukup tua itu, publik tidak dapat menyaksikan perangkat keras, mesin-mesin yang bersejarah memproduksi puluhan ribu piringan hitam langka itu.

Kenyataannya, benda-benda itu sudah tidak disimpan lagi di Lokananta. “Ini yang membuat saya sedih. Ke mana peralatan itu? Saya tidak tahu lagi. Saya masuk Lokananta belum lama,” tutur Ruktiningsih. Namun ia mengaku bangga bisa ikut berperan memamerkan koleksi-koleksi langka lembaga yang mempekerjakan 21 orang karyawan ini.

Sebab pameran itu juga menjadi bagian strategi penting seperti, “Bagaimana menghadapi dan memberdayakan Lokananta sekarang dan mendatang? Bagaimana menjawab tantangan untuk menyelamatkan Lokananta agar tetap berperan di era baru,” kata Ruktiningsih.

Dibutuhkan inovasi kelembagaan untuk menggerakkan roda kegiatan dan usaha Lokananta sesuai dengan perkembangan zaman. Salah satunya, dengan mengubah status Lokananta dari jawatan menjadi perusahaan negara, dengan kewajiban menghasilkan pendapatan bagi negara.

Selain itu, disiapkan juga beberapa strategi usaha. Antara lain, Lokananta akan menyelenggarakan kegiatan percetakan, penerbitan, dan jasa grafika lainnya. “Sekaligus menempatkan Perum PNRI Cabang Solo (Lokananta) sebagai objek wisata,” ujar Ruktiningsih.

Di bidang multimedia, sesuai dengan perkembangan zaman, Lokananta direncanakan bersaing dalam industri rekaman. Misalnya dengan memproduksi dan memasarkan kaset dan CD audio serta penjajakan untuk merekamnya dalam bentuk VCD. Juga akan menerima jasa penggandaan CD audio dan VCD.

Namun, untuk mendukung program yang berbau “digitalisasi” itu, “Lokananta memerlukan tambahan alat baru yang canggih. Kami sudah membuat proposal dan dikirim ke Jakarta,” kata Ruktiningsih, yang optimistis bahwa proposalnya akan disetujui pusat.

Selama dua hari pameran berlangsung, Lokananta terlihat ramai. Para peneliti, mahasiswa, dan masyarakat awam berdesakan ingin melihat dan memiliki produk-produk rekaman, baik yang masih berwujud piringan hitam maupun yang sudah dipindahkan dalam wujud kaset dan CD.

Peran besar Lokananta sebagai perekam sejarah lewat modus auditif wajib dipelihara dan dipertahankan. Namun prakteknya tidak harus dengan membatasi kesempatannya untuk ambil bagian dalam industri rekaman “modern” di Tanah Air.

* Diunduh dari http://www.gatra.com/

Comments (0)

Posting Komentar