Sejarah Musik Indonesia
Posted by the past | Posted in | Posted on
0
MUSIK INDONESIA. Sebuah kata yang bisa berarti musik yang asli Indonesia, tapi bisa juga bermakna dunia musik yang berkembang di Indonesia, tanpa embel-embel kata asli. Masih bisa diperdebatkan, karena sejatinya musik Indonesia terangkum dalam rentang panjang yang tentu saja banyak dipengaruhi oleh banyak warna.
Ada yang mengklaim keroncong adalah musik asli Indonesia. Padahal dalam sejarahnya, keroncong justru kental dengan aroma Portugis. Ini bisa kita temukan di daerah Tugu Jakarta Utara yang konon merupakan "awal mula" keroncong berkembang di Indonesia.
Atau gambang kromong Betawi yang diklaim musik asli Indonesia. Padahal pengaruh dari Cina sangatlah kental pada musik Betawi ini. Artinya, ketika kita mengklaim satu musik tertentu sebagai "asli" perlu satu penelitian panjang yang cukup valid.
Tidak banyak orang tahu bahwa Gambang Kromong, yang sempat dipopulerkan oleh Lilis Suryani di tahun 60-an dan duet Benyamin S- Ida Royani di tahun 70-an, adalah sebuah musik akulturatif berbagai etnis di Indonesia yang cikal bakalnya telah dirintis lebih dari dua abad lalu. Irama gambang kromong dengan tata laras Salendro Cina pertama kali diperkenalkan oleh orang-orang Tionghoa Peranakan sebelum akhirnya mengalami percampuran dengan budaya Jawa, Sunda, hingga Deli, membentuk sebuah musik harmonis yang kini menjadi salah satu ciri khas Betawi.
Belum lagi kalau kita bicara soal musik industri. Korelasinya berbanding lurus dengan urusan asli atau tidak asli tadi. Siapa yang berani mengklaim pop adalah asli Indonesia? Siapa yang berani mengatakan blues adalah asli Indonesia? Padahal kalau kita telusuri, industri musik di Indonesia nyaris tak pernah lepas dari pengaruh musisi asing. Menyebut nama band-band luar seperti Deep Purple, Led Zeppelin atau Dream Theater misalnya, adalah nama-nama yang memberi pengaruh besar bagi perkembangan musik di Indonesia, bahkan hingga saat ini.
Dulu, katakanlah era tahun 60-an sampai 70-an, musisi-musisi Indonesia banyak yang berkiblat pada band-band asing yang sedang berkibar, sesuai dengan trend kekinian era itu. Tidak banyak yang berkiblat kepada band-band lokal. Selain karena band-band lokal jarang [atau malah tidak pernah] mendapat kesempatan untuk merilis album yang sesuai dengan karakternya, band-band lokal ini biasanya lebih bangga kalau disebut-sebut sukses mirip dengan band-band asing. Dengan kata lain, bangga sebagai imitator.
Mengapa sejarah perkembangan musik tidak begitu akrab dengan kita? Tidak banyak musisi yang merasa perlu “belajar” tenteng perkembangan musik Indonesia. Belajar sejarah dianggap sesuatu yang membosankan dan tidak penting. Padahal, ketika kita [saya dan para musisi itu] tahu banyak tentang musik Indonesia, kita bisa menakar, seberapa jauh sebenarnya “kecepatan lari” musik Indonesia dari masa ke masa itu. Generasi sekarang, siapa yang tahu nama-nama seperti Sam Saimun, Waldjinah, Bram Titaley, atau Bing Slamet?
Hampir semua pembicaraan tentang musik Indonesia, masih berkutat pada trend kekinian semata. Kita tidak merasa perlu menengok ke belakang dan berkaca pada lika-liku musisi Indonesia masa lalu. Penulis harus “merayu” banyak pihak, untuk sekedar berdiskusi tentang rentang panjang musik Indonesia. Sangat sulit memang mencari literatur. Mungkin terlalu berlebihan kalau dibilang, seperti mencari jarum di tumpukan jerami, tapi begitulah adanya.
Sebutlah acara seperti Pemilihan Bintang Radio era 50-an sampai rentang akhir 70-an. Acara ini menjadi barometer munculnya bintang-bintang baru di jagat musik Indonesia. Titik Puspa yang kini melegenda, adalah salah satu jebolan festival seperti ini. Dulu ada nama “jagoan” seriosa bernama Effie Tjoa. Effie adalah seorang penyanyi opera yang juga banyak mencipta kan jenis lagu seriosa. Effie kemudian berganti nama menjadi Gita Dewi. Tentu masih ada nama-nama lain yang bisa disebut, tapi coba tanyakan kepada musisi-musisi sekarang yang sedang naik daun, bisa jadi jawabannya mereka tidak tahu [atau tidak mau tahu].
Tahun 50-an memang banyak didominasi “buaya keroncong” jagoan-jagoan seriosa seperti Sam Saimun, Ade Ticoalu, Dien Yacobus, atau Andi Mulya. Atau ada nama Masnun, seorang penyanyi serba bisa yang mejadi juara nyanyi untuk kategori seriosa, hiburan dan keroncong.
INDUSTRI REKAMAN PERTAMA
Sejarah industri rekaman di Indonesia bisa berawal dari dua tempat: Lokananta di Surakarta dan Irama di Menteng Jakarta. Lokananta milik pemerintah, dan banyak melahirkan lagu-lagu daerah, sementara Irama milik Suyoso Karsono yang akrab dipanggil Mas Yos, banyak melahirkan lagu-lagu hiburan sebutan untuk lagu pop sekarang. Nama-nama Rachmat Kartolo, Nien Lesmana, sampai Patty Sisters pernah rekaman di Irama yang awalnya hanya sebuah studio kecil di sebuah garasi di Menteng, Jakarta Pusat. Peristiwa rekaman itu terjadi di ujung tahun 1950-an hingga memasuki tahun 1960-an.
Menariknya, Mas Yos pernah tertarik dan kemudin merekrut band latin-Minang bernama Gumarang. Sebagai seorang pengusaha, konon Mas Yos merasa bahwa irama yang dibawakan Gumarang bukan saja mampu menyajikan lagu-lagu Minang sesuai dengan aslinya, namun juga memiliki ramuan irama Latin yang amat disukai masyarakat.
Gumarang dipengaruhi lagu-lagu Latin [seperti Melody d’Amour, Besame Mucho, Cachito, Maria Elena, dan Quizas, Quizas, Quizas] yang ketika itu sedang digemari. Oleh sebab itulah musik Latin tersebut menjadi unsur baru dalam aransemen musik Gumarang.
Pemerintah melihat potensi musikal musisi Indonesia sangat penting. Meski awalnya sempat “gelisah” lantaran pengaruh musik pop dianggap sebagai “infiltrasi” budaya barat [yang oleh Soekarno sedang digempur habis-habisan], toh musik dianggap sebagai salah satu propaganda yang cukup efektif.
Di masa itu, musik tak lebih dari sekadar hobi -yang dicurigai negara. Orang bermain musik, pop atau rock, bisa jauh lebih berbahaya ketimbang bergulat atau bertinju. Gara-gara musik seperti itulah Koes Bersaudara sempat mendekam dalam tahanan 1965. Presiden Soekarno memang tidak suka pop atau rock Barat yang disebutnya ngak ngik ngok. “Tak baik buat revolusi yang belum selesai."
“Melawan” itu semua, berdirilah Lokananta. Tidak banyak anak sekarang yang tahu tentang label ini. Memang produknya lebih banyak diisi leh musik-musik daerah seperti gamelan. Beberapa nama besar di kancah musik tradisional, lahir dari label ini. Sebut saja Nyi Tjondrolukito, sinden terkenal era 60-70an.
Status Lokananta sendiri adalah perusahaan rekaman milik Pemerintah Indonesia. Berdiri tahun 1956, berlokasi di Surakarta, Jawa Tengah. Dari awal berdiri, Lokananta punya 2 tugas besar, yaitu produksi dan duplikasi piringan hitam dan kemudian cassette audio. Mulai tahun 1958, piringan hitam mulai dicoba untuk dipasarkan kepada umum melalui RRI dan diberi label Lokananta yang kurang lebih berarti "Gamelan di Kahyangan yang berbunyi tanpa penabuh".
Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215 Tahun 1961 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara. Dari perusahaan rekaman inilah lahir penyanyi-penyanyi legendaris Indonesia, seperti Gesang, Titiek Puspa, Waldjinah, Bing Slamet, Sam Saimun, hingga pelawak Basiyo. Yang terbaru adalah Didi Kempot “superstar” campursari.
Perusahaan ini sempat tak terdengar suaranya saat tersalip perusahaan rekaman swasta pesaing ketika perubahan dari era piringan hitam ke pita kaset berlangsung. Kondisi ini diperparah dengan permasalahan internal, bongkar pasang manajemen.
Melihat potensi penjualan piringan hitam maka melalui PP Nomor 215 Tahun 1961 status Lokananta menjadi Perusahaan Negara.
Sekarang perusahaan rekaman dengan nomor urut anggota pertama pada Asosiasi Rekaman Indonesia (Asiri) ini tengah melakukan proses digitalisasi 500 judul album kaset yang pernah dihasilkan. Kabarnya, semua produk Lokananta [tentu saja yang masih ada], nantinya akan digitalized semua. Konon, dari data yang penulis dapatkan, studio rekaman Lokananta hingga kini masih mengkoleksi sebanyak 38 ribu master piringan hitam (PH) yang terdiri dari 3.800 judul. Master rekaman itu selanjutnya akan ditransfer kedalam bentuk digital melalui VCD, CD maupun CD Room.
Yang paling berharga adalah rekaman asli pembacaan teks Proklamasi dari Soekarno. Selain itu masih banyak lagi koleksi rekaman kunjungan tamu-tamu negara pada awal Indonesia berdiri. Lalu ada pula rekaman pidato Kepala Negara asing sahabat-sahabat Bung Karno. Selain rekaman lagu-lagu tradisional dari seluruh nusantara.
Mungkin, Lokananta adalah perusahaan rekaman lawas yang sampai sekarang bisa bertahan. Selain karena milik pemerintah, hasil produksinya ternyata juga banyak diminati [dan ini anehnya] oleh pecinta musik dari luarnegeri.
Perkembangan studio rekaman memang tak terlalu ngebut. Lalu, memasuki awal tahun 1970-an, di daerah Bandengan Selatan Jakarta Barat, Dick Tamimi mendirikan studio rekaman bernama Dimita. Nama studionya sendiri diambil dari nama pendirinya.
Dick termasuk jeli melihat peluang pasar di era 70-an. Meski dengan alat yang tidak bisa dibilang canggih –bayangkan saja, untuk teknologi rekaman, studio ini masih “hanya” menggunakan 8 tracks—tapi Dick sukses melejitkan nama Panjaitan Bersaudara [Panbers], Dara Puspita, Koes Bersaudara dan Rasela. Sampai tahun 1975 Dimita tetap berjaya.
Ada cerita unik tentang perusahaan rekaman yang satu ini. Lantaran letaknya dipinggir rel kereta api, setiap penyanyi yang rekaman disitu harus “break” ketika kereta api lewat. Maklum saja, akustik studionya juga tidak terlalu istimewa. Cerita lainnya, banyak penyanyi yang harus nguber-uber jangkrik karena suaranya menganggu proses rekaman. Berburu jangkrik ini dialami oleh Benny Panjaitan, yang merasa terganggu ketika menyanyi. Hal ini diceritakan kepada penulis oleh Bens Leo, wartawan musik senior ketika ngobrol-ngobrol dengan RILEKS.com.
Dengan seabrek gangguan itu, proses pengerjaan rekaman biasanya memakan waktu yang cukup panjang. Jika jaman sekarang satu shift dihitung antara 7 atau 8 jam, jaman dulu kala produser rekaman agak membiarkan artisnya berkreasi. Sebab, dari tahun 50-an hingga pertengahan tahun 70-an, studio rekaman tak ada yang disewakan. Pemilik studio adalah eksekutif produsernya sendiri.
Dick Tamimi dan Mas Yos adalah nama-nama pioner pemilik studio rekaman. Sempat pula muncul nama Jan Nurdjaja Djuhana [sekarang Senior A&R Sony-BMG Indonesia] yang mengibarkan Angels Record tahun 1973. Era ini memang era yang sangat bebas merekam apa saja. Padahal, percaya atau tidak, modal Jan adalah tape recorder dan mesin ketik buat menuliskan judul-judul lagu. Lima sampai 10 kaset yang diproduksinya selama sepekan, ia taruh di etalase tokonya.
Saat itu industri rekaman dalam negeri memang menangguk untung besar dari absennya Indonesia dalam penandatanganan Konvensi Bern tentang hak cipta. Aquarius Records, misalnya, dalam catatan Tempo, sempat memproduksi kaset rekaman lagu-lagu Barat hingga dua juta keping dalam setahun.
Setelah itu muncul raja studio rekaman Indonesia, dan kelak dianggap sebagai produser legendaris yang menguasai pangsa pasar terbesar di Indonesia, yakni Yamin Wijaya atau biasa disebut Amin Cengli yang memiliki studio rekaman Metropolitan kini Musica Studio`s dan satunya, sang raja adalah Eugene Timothy, mengomandani perusahaan rekaman Remaco.
Musica sendiri punya kisah unik. Amin Cengli sebenarnya punya usaha lain diluar distributor rekaman. Usahanya tidak ada hubungan dengan musik, yaitu Kopi Warung Tinggi, yang telah berdiri sejak tahun 1878. Usaha ini merupakan usaha turun temurun.
Entah apa pertimbangannya, awal tahun 1960, Amin menjajal terjun ke bisnis elektronik dan distributor rekaman dengan mendirikan gerai di Pasar Baru dengan nama tokonya Eka Sapta. Gara-gara nama tokonya itu pula, kelak akan lahir band yang cukup kondang bernama Eka Sapta. Amin tergolong orang yang supel. Usahanya di bidang distributor rekaman, membuatnya berkenalan dengan banyak musisi muda waktuitu seperti Bing Slamet, Ireng Maulana, Enteng Tanamal dan Idris Sardi. Pertemanan ini menginspirasi terbentuknya band Eka Sapta.
Eka Sapta lahir bukan karena Amin Cengli jago bermain musik atau olah vokal. Amin hanya punya kepekaan bisnis saja. Eka Sapta sendiri kemudian berkembang menjadi band yang cukup disegani dan diperhitungkan di era 70-an.
Sukses Eka Sapta membuat Amin mengendus peluang lain, industri rekaman komersil. Amin kemudian mendirikan perusahaan rekaman bernama PT Warung Tinggi. Namanya diambil dari usaha kopi keluarganya. Uniknya, alat-alat rekamannya pun belum punya sendiri dan masih meminjam studio Remaco. Titik Puspa termasuk salah satu artis lawas yang sempat menelorkan album lewat perusahan ini. Rupanya, Amin Cengli memang sudah lama “mengintip” peluang indutri rekaman ini. Tahun 1968-1969, Amin pernah membuat rekaman di Singapura.
Tahun 1968 Amin berkongsi dengan anggota band Eka Sapta --Bing Slamet, Ireng Maulana, Enteng Tanamal dan Idris Sardi-- mendirikan PT Metropolitan Studio. Saat itu piringan hitam [PH] sedang tren dan PT Metropolitan Studio berhasil merekam lagu-lagu yang dibawakan band Eka Sapta, Bing Slamet maupun A Riyanto. Sayang, PH ini tergilas format musik baru, yaitu kaset. Para pemilik saham PT Metropolitan enggan meneruskan bisnis PH ini dan melepas sahamnya. Tahun 1971 saham itu dibeli oleh Amin dan berubah menjadi PT Musica Studio`s.
Ketika Remaco mulai memudar dan kemudian ambruk, Musica mulai berkibar kencang, Di tempat ini diterapkan sistem rekam yang banyak mengandalkan insting humanisme. Dengan cara-cara `persaudaraan-pertemanan`, banyak sekali artis musisi yang mampu bertahan lama, dikontrak jangka panjang oleh Musica. Sebagai contoh nama Chrisye, lebih dari 80% karier rekamannya yang dimulai dari jaman album solo Sabda Alam [1978] sampai album Badai Pasti Berlalu [1999], direkam sebagian besar di Musica. Sebelumnya, masuk dalam formasi Eros Djarot, Debbie Nasution, Odink, Ronny Harahap, Guruh Soekarno, Gauri Nasution juga Kompiang Raka yang membawa musisi pentatonik Bali.
Chrisye dan Berlian Hutauruk merekam album Guruh Gipsy di studio Tri Angkasa yang hanya 16 tracks di Kebayoran Baru. Rekaman yang disebut terakhir inilah sebenarnya embrio lahirnya album paramusisi `gedongan`, yang melahirkan album monumental Badai Pasti Berlalu, juga album Jurang Pemisah yang digarap Jockie Suryoprayogo [1976].
Remaco pernah menjadi perusahaan rekaman ter- besar di Indonesia, dengan akses kuat ke pergaulan di dunia rekaman Internasional, karena pada saat membuat Piringan Hitam [PH], seperti Irama, Lokananta, dan Dimita, Remaco masih memakai perusahan pembuat matris pencetak PH di Singapura.
Di Remaco, lahir nama-nama besar Bimbo, D`Lloyds, The Mercy`s dan kelak Koes Bersaudara yang pada tahun 1967 berubah nama menjadi Koes Plus pun pindah ke tempat ini, karena iming-iming bonus Mercy terbaru untuk komposernya, Tony Koeswoyo.
Hingga akhir 1970-an, musik berkembang di hampir semua jalur. Di jalur pop, kelompok-kelompok musik seperti Koes Plus, Favorite Group, Bimbo, D`Lloyd, The Mercy`s, atau Panbers, tak hanya hadir di panggung, tapi juga mulai eksis di dapur rekaman. Di jalur dangdut, Rhoma Irama mengibarkan Soneta yang menggabungkan irama Melayu dan idiom Deep Purple. Balada dan country pun mulai mendapatkan tenaganya di tangan Yan Hartlan, Dede Haris, atau Iwan Abdurachman. Warna lain, yang memadukan pop dan art rock, lahir dari tangan Eros Djarot atau Guruh Soekarnoputra melalui kelompoknya, Gypsy.
Perubahan paling tajam dirasakan di jalur rock. Godbless, Giant Step, AKA, Rollies, atau SAS adalah beberapa agen perubahan itu. Sayangnya, band-band itu lebih suka menjadi “epigon” dari kelompok musisi asing yang tengah merajai dunia -sejak Led Zeppelin, Deep Purple, Black Sabbath, Rolling Stones, hingga The Beatles. Bisa dipahami kalau industri rekaman, yang mulai bermunculan saat itu, memunggungi mereka, dianggap tidak punya ciri. Kalau pun toh nekat rekaman, band-band rock itu harus rela memakai “topeng” di genre lain. Bayangkan, sekelas AKA pernah menelorkan album melayu. Padahal siapapun tahu, AKA dikenal dengan aksi panggung gila-gilaan dan mengusung musik rock. Kabarnya, band-band rock itu memang “menjual diri” lewat panggung.
Energi industri rekaman agaknya lebih bertumpu pada usaha mereproduksi lagu-lagu mancanegara, yang praktis tidak perlu mengeluarkan biaya royalti atau hak cipta.
dikutip dari rileks.com -
Comments (0)
Posting Komentar