Sistem Tanam Paksa (1830 - 1870)
Posted by the past | Posted in SEJARAH TANAM PAKSA 1930 - 1870 | Posted on
0
Sejarah
Tahun 1830, Pemerintah Hindia Belanda mengangkat Johanes Van den Bosch sebagai gubernur jendral di Jawa, pada masa itu Pemerintah hindia belanda sedang dalam kesulitan ekonomi akibat perang Jawa (Perang Diponegoro) pada tahun 1825 - 1830. Tugas utama van den Bosch adalah memulihkan keadaan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Pada masa itu, gubernur jendral baru ini berpikir bagaimana cara memulihkan kas hindia belanda ini. Lalu keluarlah ide, sebuah sistem, yang bernama tanam paksa (cultuur stelsel) sebagai solusi keuangan Hindia Belanda.
Konsep Cultuur Stelsel
Prinsip sistem ini adalah penggantian pemberian pajak, yang tadinya berupa uang dari rakyat berubah menjadi bentuk barang (natura). Artinya para petani diharuskan untuk membayar pajak dengan hasil bumi sesuai ketentuan yang berlaku. Diharapkan dari sistem ini, pungutan pajak berbentuk hasil bumi ini akan memulihkan perekonomian pemerintah Hindia Belanda. Menurut van den Bosch sistem ini akan meningkatkan ekspor Indonesia antara 15 - 20 juta rupiah setiap tahunnya. Beberapa jenis tanaman dagang meliputi : gula, nila, teh, tembakau, kopi, kayu manis, kapas.
Ketentuan sistem tanam paksa ini diatur dalam staatsblad yang memuat antara lain :
1. Sesuai persetujuan bersama, petani akan menyediakan sebagian dari tanahnya untuk ditanami tanaman tanaman dagang yang bisa diekspor pada pemerintah hindia belanda.
2. Bagian dari tanah pertanian yang disediakan oleh penduduk tidak boleh lebih dari 1/5 bagian dari tanah yang dikelola oleh penduduk desa.
3. Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman dagang, tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk menanam padi.
4. Bagian tanah yang diserahkan untuk tanaman dagang tidak dikenai pajak tanah.
5. Tanaman dagang yang dihasilkan wajib diserahkan pada pemerintah Hindia Belanda sebagai pajak yang telah ditentukan sesuai perjanjian sebelumnya. Bila hasil penjualan tanaman itu melebihi nilai pajak yang ditentukan, maka pemerintah Hindia Belanda berkewajiban untuk mengembalikan selisih positifnya pada petani.
6. Kegagalan panen tanaman dagang, kerugiaanya ditanggung oleh pemerintah Hindia Belanda. Kecuali kegagalan itu karena keteledoran atau kemalasan petani.
7. Penduduk desa akan mengerjakan tanah tanahnya dibawah pengawasan kepala kepala mereka. Pegawai Belanda hanya mengawasi penyerahan hasil bumi pada pemerintah.
Penyelewengan
Kalau kita lihat, sistem ini mungkin tidak terlalu memberatkan petani. Petani masih dapat menanam untuk keperluan sehari hari mereka. Namun sayangnya banyak sekali penyimpangan di lapangan yang dilakukan oleh pengawas Belanda, Bupati, Kepala Desa, dan mandor yang bertugas. Contoh penyimpangan yang banyak terjadi adalah penanaman tenaman dagang bisa melebihi 1/2 dari lahan petani, petani dipaksa untuk menanam tanaman dagang sehingga mereka kesulitan untuk makan, pajak yang seharusnya dibebaskan tetap dikenakan pada para petani, kegagalan panen juga akhirnya menjadi beban petani. Pada masa itu petani hidup amat sulit. Penyimpangan penyimpangan ini disebabkan oleh adanya hadiah finansial atau cultuurprocenten untuk para Bupati, kepala desa, dan pengawas Belanda yang wilayahnya banyak memberi masukan hasil bumi. Akibatnya para kepala desa berlomba lomba untuk memaksa petaninya bekerja dengan amat keras. Pada masa itu, pengawasan dari pemerintah Hindia Belanda amat lemah sehingga para mandor tani dapat saja berbuat seenak enaknya pada petani.
Menurut Gonggrijp, era tanam paksa dari tahun 1830 - 1850, atau 20 tahun pertama adalah tahun paling berat buat petani Jawa. Dia menyamakan tanam paksa dengan kerja rodi membuat jalan atau jembatan.
Era Akhir Tanam Paksa
Sebelum tahun 1850, rakyat di negeri Belanda tidak tahu menahu mengenai penderitaan petani di negri jajahannya. Namun setelah tahun 1850, berita berita mengenai kekejaman tanam paksa mulai terdengar di negri Belanda. Banyak tokoh Belanda (terutama dari fraksi Liberal) yang mengecam tindakan pemerintah Hindia Belanda. Perdebatan inipun muncul di forum forum Internasional. Tahun 1860 muncul sebuah buku yang berjudul Max Havelaar, ditulis oleh seorang Belanda yang tinggal di Indonesia Eduard Dowes Dekker. Buku adalah sebuah novel yang berkisah mengenai penderitaan rakyat Indonesia dibawah era tanam paksa. Diyakini kisah dalam buku ini diambil dari pengalaman Dowes Dekker waktu menjadi pegawai pemerintah di Lebak. Buku ini membuka mata penduduk di Negri Belanda maupun Eropa.
Tahun 1860 an, partai Liberal memenangkan pemilihan di Belanda, akibatnya asa liberal mulai diberlakukan di Belanda dan negara jajahan. Tahun 1870, sistem tanam paksa murni dihapuskan dan dimulailah era pemerintahan liberal di Hindia Belanda.
by Yulius Adi - The Man From The Past
Comments (0)
Posting Komentar